PPh Pasal 21/26

Untuk lebih memahami ketentuan Pajak Penghasilan (selanjutnya disingkat PPh) Pasal 21/26, silahkan disimak penjelasan seputar PPh Pasal 21/26 berikut ini.

Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh:

  1. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
  2. bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
  3. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apa pun dalam rangka pensiun;
  4. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas; dan
  5. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.

Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak sebagaimana tersebut di atas adalah kantor perwakilan negara asing dan organisasi-organisasi internasional. Jika pemberi pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak sebagaimana tersebut di atas adalah kantor perwakilan negara asing dan organisasi-organisasi internasional maka disebut dan termasuk dalam kategori pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 (selanjutnya disingkat Pasal 26).

Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Tarif pemotongan atas penghasilan adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam UU PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.

Besarnya tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Contoh:

Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 75.000.000,00

Pajak Penghasilan yang harus dipotong bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP adalah:

5%   x Rp50.000.000,00= Rp2.500.000,00

15% x Rp25.000.000,00= Rp3.750.000,00 (+)

Jumlah      Rp6.250.000,00

Pajak Penghasilan yang harus dipotong jika Wajib Pajak tidak memiliki NPWP adalah:

5%   x 120% x Rp50.000.000,00= Rp3.000.000,00

15% x 120% x Rp25.000.000,00= Rp4.500.000,00 (+)

Jumlah   Rp7.500.000,00

Kemudian atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:

  1. dividen;
  2. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
  3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
  4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
  5. hadiah dan penghargaan;
  6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
  7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
  8. keuntungan karena pembebasan utang.

Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia adalah negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner). Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam UU PPh Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto. Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.

Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pemotongan pajak tersebut di atas bersifat final, kecuali:

  1. pemotongan atas penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia dan penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
  2. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.

 

SUMBER : PPh Pasal 21/26 | Direktorat Jenderal Pajak

Norma Penghitungan Penghasilan Neto

  1. Yang Boleh Menggunakan NPPN
    • WP OP yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan 
      • WP OP yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
      • Kewajibannya :
        • WP OP yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto ini wajib menyelenggarakan pencatatan 
      • Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila WP menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
  2. Dalam hal terhadap WP Badan atau WP OP yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dilakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam UU KUP, ternyata Wajib Pajak orang pribadi atau badan tersebut tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya, penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
  3. Pemberitahuan Penggunaan NPPN Dianggap Disetujui
    • Pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang disampaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Neto 

  1. Daftar Persentase Norma penghitungan Penghasilan Neto dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut : 
    1. 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak;
    2. ibukota propinsi lainnya;
    3. daerah lainnya
  2. Daftar persentase Norma penghitungan Penghasilan Neto untuk WP OP yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. (tautan)
  3. Daftar persentase Norma penghitungan Penghasilan Neto untuk WP OP yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya. (tautan)
  4. Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak badan yang tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau bukti-bukti pendukungnya. (tautan)

Wajib Pajak Memiliki Lebih Dari Satu Jenis Usaha

  • Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas dengan memperhatikan pengelompokan wilayah pengenaan norma. 
  • Penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas adalah penjumlahan penghasilan neto dari masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas yang dihitung. 

Cara Menghitung Penghasilan Neto

  • Penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam 1 (satu) Tahun Pajak. 
  • Dalam menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang oleh WP OP, sebelum dilakukan penerapan tarif umum Pajak Penghasilan, terlebih dahulu dihitung Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dari penghasilan neto tersebut. 

 

Sumber : Norma Penghitungan Penghasilan Neto | Direktorat Jenderal Pajak

PPh Pasal 23/26

Untuk lebih memahami ketentuan Pajak Penghasilan (selanjutnya disingkat PPh) Pasal 23/26, silahkan disimak penjelasan seputar PPh Pasal 23/26 berikut ini.

Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh Pemotong PPh Pasal 23 kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong PPh Pasal 23 oleh pihak yang wajib membayarkan:

  1. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas dividen, bunga, royalti; dan hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh Pasal  21
  2. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
    1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2); dan
    2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif tersebut di atas.

Pemotongan PPh Pasal 23 tidak dilakukan atas:

  1. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
  2. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
  3. dividen yang bukan Objek PPh dan dividen yang diterima oleh orang pribadi (merupakan objek PPh yang bersifat final);
  4. bagian laba yang bukan objek PPh;
  5. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya; dan
  6. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23

 

Saat Pemotongan

Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 UU PPh dilakukan pada akhir bulan dibayarkannya penghasilan, disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

 

Saat Terutang

Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23 UU PPh adalah pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa lainnya).

 

Tempat Pemotongan

  1. Atas transaksi-transaksi yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 yang pembayarannya dilakukan oleh kantor pusat, maka PPh Pasal 23 dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh kantor pusat.
  2. Atas transaksi-transaksi yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 yang pembayarannya dilakukan oleh kantor cabang, misalnya pembayaran sewa mesin oleh kantor cabang, PPh Pasal 23 dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh kantor cabang yang bersangkutan.
  3. Ketentuan tentang pemusatan pelaksanaan pemotongan, penyetoran, pelaporan PPh Pasal 23 tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

 

Sumber: PPh Pasal 23/26 | Direktorat Jenderal Pajak

Layanan DG Consulting

  • Jasa Pembukuan
  • Jasa Konsultasi Perpajakan
  • Layanan Kepatuhan Pajak

Hubungi DG Consulting